Jumat, 18 April 2014

Jalan Salib: Antara Kuasa, Kasih, dan Kesukaran

Suatu kali seseorang mengajukan pertanyaan “mudahkah bagi Tuhan Yesus untuk menjalani hidupNya selama di bumi sebagai manusia?” – berbagai jawaban diajukan. Ada yang menjawab “mudah” karena Dia TUHAN, Dia bisa melakukan apa saja – namun ada yang menjawab “tidak mudah” dengan alasan-alasan yang tidak cukup jelas bagi saya sebagai pendengar. Merenungkan tentang hari-hari sengsara Tuhan Yesus, menjelang dan saat penyalibanNya, saya kembali terbawa , kepada pertanyaan yang sama tersebut, “mudahkah bagi YESUS untuk menjalani hidupNya, khususnya menjalani masa-masa sengsaraNya?” Saya mulai dengan menyelusuri pertanyaan umum, “Bagaimana kita dapat mengetahui seseorang itu sedang mengalami kesukaran atau sedang menikmati hidupnya?” – jawabnya adalah dari ekspresi emosional yang dimunculkan orang tersebut. Air mata, keluh kesah, dan kemarahan adalah emosi negatif yang muncul sebagai ekspresi dari kesusahan yang dialami seseorang, sementara tawa canda riang dan humor mengekspresikan kebahagiaan dan kesukaan hidup yang sedang dijalani seseorang. Dalam hidupnya, Alkitab mencatat kepribadian dan sikap yang tenang dan damai dalam diri Yesus Kristus. Sebagai seorang anak usia 12 tahun, Dia dengan tenang menikmati diskusi dengan ahli-ahli Taurat dan Imam-imam di Bait Suci di Yerusalem. Sebagai seorang yang dewasa, seorang Rabi, Dia pun memiliki ketenangan batin yang tidak terkalahkan oleh badai ancaman dan jebakan orang-orang fairsi dan ahli-ahli Taurat yang dengki dan membenci Dia. Yesus tegas namun juga lembut dan tenang. Namun beberapa kali Alkitab menggambarkan emosi negatif yang dimunculkan Tuhan Yesus. Dia marah saat melihat orang-orang menajiskan Bait Suci dengan berjualan dan bertukar uang (istilah untuk perjudian) di sana. Dia menangis sewaktu Lazarus adik dari Martha dan Maria mati. Dia menangisi kota Yerusalem dengan orang-orang di dalamnya yang keras hati. Dia berpeluh dan mengalami ketegangan yang luar biasa malam menjelang penangkapannya di taman Getshemani. Ia berlutut dan berdoa, kataNya “Ya Bapa-ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Maka seorang malaikat dari langit enapakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan akin bersungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. (Lukas 22:41-44). Alkitab dengan jujur menyatakan, ada kegalauan dan ketakutan yang dialami Tuhan Yesus! Bagaimana bisa? Ya, sangat bisa, karena ia dalam inkarnasi menjadi manusia seutuhnya, dengan emosi yang kudus, namun emosinya utuh selayaknya manusia biasa, ia bisa merasa takut dan tegang! Dalam inkarnasiNya sebagai manusia, Tuhan membatasi KuasaNya, artinya hal-hal buruk yang tidak mungkin dialami-Nya sebagai Tuhan, dan yang tak pernah dialamiNya selama ia ada di TahtaNya, hal-hal buruk yang hanya diperuntukkan bagi manusia sebagai konsekuensi dosa manusia, kini harus dijalani Tuhan Yesus demi manusia, Dia menanggung hukuman dosa manusia yang tidak pernah dilakukanNya! Ketakutan dan ketegangan Tuhan Yesus bukan sesuatu yang biasa. Peluh yang mengalir bagaikan titik-titik darah diduga sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah akibat rasa tegang yang amat sangat. Ketakutan akan penderitaan fisik akibat aniaya yang akan dihadapiNya dan penderitaan rohani terputusnya kontakNya dengan Bapa saat Ia menjalani hukuman dosa manusia. Banyak orang yang masih beranggapan bukan sakit fisik tersebut yang ditakutkanNya. Bagi saya pemikiran tersebut benar-benar mengabaikan aspek kemanusiaan sejati Tuhan Yesus. Manusia mana yang tidak akan gelisah jika tahu sebentar lagi dagingnya akan diiris-iris, ditikam dalam jangka waktu lama, dan digantung dalam kondisi dipaku? Jika untuk menghadapi saat-saat operasi saja kita mengalami kegelisahan, operasi yang dibantu oleh obat bius pengurang rasa sakit, apalagi tikaman, cambukan dengan pisau tajam, dan digantung dengan tubuh ditusuk paku besar selama berjam-jam tanpa obat pengurang rasa sakit! Ketakutan Tuhan Yesus itu manusiawi. Ketakutan Tuhan Yesus menjadi berlipat ganda dengan adanya realita Dia akan berpisah dengan Bapa saat Ia menjalani hukuman dosa manusia tersebut. Bayangkanlah seorang anak yang tidak pernah lepas dari Bapa-Nya dan tiba-tiba harus mengalami perpisahan. Saya pernah menyaksikan hal ini berkali-kali. Anak yang biasa bertemu ayahnya setiap hari, namun suatu hari ketika bangun tidur tiba-tiba ia tidak menemukan sang ayah karena sang ayah memutuskan meninggalkan keluarganya. Perpisahan itu merupakan pengalaman yang mengerikan. Yesus dan Bapa adalah Satu, tidak pernah berpisah. Namun di saat penyalibanNya, Dia harus mengalami hal itu, Bapa memalingkan mukaNya dari sang Anak. SeruanNya yang menyayat hati “Eli, Eli, Lama sabakhtani?!” sebuah pertanyaan mengapa Sang Bapa meninggalkan diriNya, diserukan dengan sepenuh hati yang terluka.. hati yang tersayat. Menanggung hukuman yang bukan akibat ulah kita sendiri itu berat. Beberapa kali saya melakukan kesalahan yang jangankan untuk saya bereskan, untuk menanggung konsekuensi kesalahan itu pun saya tidak mampu sehingga akhirnya suami saya yang harus menanggung dan membereskannya. Bukan hal yang mudah baginya. Kesalahan yang bukan miliknya ditimpakan kepadanya. Sebagai manusia dia mengeluh dan menyampaikan kalimat protes, namun dalam kasihnya yang besar dan tulus terhadap istri, ia , tanpa saya suruh, dengan rela menanggung konsekuensi itu bagi saya dan membereskan kekacauan yang saya buat. Ya, Dia mampu melakukan itu, tapi tidak dengan mudah baik secara emosi maupun secara fisik. Pengalaman ini membawa saya pada gambaran penderitaan Tuhan Yesus bagi saya dan semua manusia berdosa. Ya, Yesus mampu menjalani hukuman dosa yang bukan akibat dosaNya karena ia tanpa dosa, namun itu bukan dengan mudah. Pengorbanan Tuhan Yesus, bukan pengorbanan yang mudah dan murah. Bersyukurlah bahwa Ia mengasihi kita sepenuhnya dan mau menanggung konseksuensi kekacauan dan dosa yang kita buat, namun jangan mempermainkan anugerahNya. Hargai apa yang sudah Tuhan Yesus perbuat bagi kita. PemberianNya jauh lebih mahal dari semua pemberian di dunia ini, karena Nyawalah yang diberikanNya dan Keselamatan kekal yang tidak mampu dihadiahkan oleh siapapun juga di dunia ini kepada kita selain oleh TUHAN sendiri. Hargai dengan memikirkan dan melakukan apa yang berkenan padaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT NATAL IBU, TAHUN INI AKU TIDAK PULANG

Aku merenung sejenak menatap lampu jalanan yang sudah mulai menyala. Ku susuri perlahan trotoar berdebu itu dengan perlahan tanpa berniat un...